26 April 2018

Agar Anak Tidak Banyak Jajan Sembarangan

 “Mah, minta uang. Mau beli jajan.” Ibunya menyodorkan uang dua ribuan.

Beberapa saat kemudian.

“Mah, minta uang. Mau beli jajan.” Ibunya kembali menyodorkan uang dua ribuan.

Sepuluh menit kemudian pedagang lewat lagi, dan anak tersebut minta uang lagi kepada ibunya. Ibunya pun kembali memberikan uang jajan.

Begitulah pemandangan saat saya tengah berkunjung di rumah seorang  teman. Anak teman saya ini ada 2, yang pertama SD yang kedua balita. Selama sekitar satu jam di sana, anaknya yang berusia 9 tahun ini beberapa kali minta uang untuk membeli jajanan para pedagang yang sering lewat di depan rumah.

Saya lalu tergelitik untuk bertanya : “Mbak, kenapa dikasih terus (uang)?”

Untungnya teman saya ini bukan tipe yang nyolot. Untungnya dia nggak menjawab seperti yang saya takutkan seperti “Eh, duit-duit saya, kenapa kamu yang repot?”
Untunglah, hahaha.

Teman saya menjawab : “Iya, Wien. Habisnya kalau nggak dikasih, dia langsung ngamuk-ngamuk. Nangisnya keras dan berisik banget. Aku jadi pusing. Pernah nggak aku kasih (uang), dia sampai guling-guling di lantai dan bantingin barang. Suamiku pulang kerja tahu barang-barang pecah, malah jadi marahin aku.”

“Ooowh.” Entah kenapa saya hanya bisa menjawab begitu.

Mau aku “nasehatin” tapi kok kalimat saya seperti tercekat di tenggorokan, nggak mau keluar. Saya pulang dengan suasana hati yang terusik. Masih memikirkan teman saya dan anaknya. Kasihan juga kalau seperti itu sampai dia dewasa. Tadi saya sempat bertanya berapa pengeluaran untuk jajan anaknya. Dia menjawab bisa sampai duapuluh ribu sehari, belum sama bekal anaknya ke sekolah. MasyaAllah.



Lalu saya berkaca diri. Alhamdulillah dua anak saya yang sekarang TK dan SD enggak begitu amat. Jajan ya sewajarnya. Malah seringnya pengeluaran untuk jajan hanya pas di sekolah saja. Sedangkan di rumah, jarang minta uang untuk jajan di warung maupun jajan di pedagang keliling. Padahal ya sama saja di daerah tinggal kami, banyak pedagang keliling yang rutin lewat depan rumah setiap hari. Kalau boleh saya sebutkan, ada tukang batagor, bubur kacang hijau, pedagang buah yang sudah diirisin, agar-agar, cilok, odading, bakso, roti, sampai pedagang mainan murah juga ada. Memang godaan yang berat buat anak-anak. Apalagi jika melihat teman tetangganya pada beli.

Bukan saya mau sok tahu memberikan tips agar anak tidak kecanduan jajan, namun barangkali orang tua di luar sana sebenarnya ingin menghentikan kebiasaan jajan anaknya tapi tidak tahu mesti gimana. Ini yang saya dan Abudi lakukan.

Pembiasaan

Saya tahu, jika kebiasaan anak sudah terbentuk sejak kecil, akan susah dirubah. Tapi bukan tidak mungkin anak usia SD bisa merubah kebiasaannya jika orang tua mampu mendampingi (mampu artinya mau dan berusaha, bukan cuma mau saja tapi pada prosesnya menyerah karena tak sabar).
Memang butuh usaha yang lebih keras melakukan pembiasaan saat anak sudah agak besar daripada menerapkan pembiasaan saat masih kecil. Buat orangtua yang anaknya masih batita, mulailah menerapkan pembiasaan untuk tidak sering-sering jajan (sembarangan) seperti kejadian pada teman saya tersebut di atas. 

Saya tahu, bagaimana perasaan orang tua saat anak meminta sesuatu. Pastinya ingin selalu mengabulkan permintaan anak, bukan? Apalagi kalau kita merasa penghasilannya cukup untuk membeli apa saja. Namun demi kebaikan anak, saya harus tega bilang ‘tidak’. Saya bisa mengatur kapan anak boleh jajan, kapan enggak. Misalnya hari ini anak sudah jajan 5000 rupiah. Maka saya akan stop untuk memberinya uang. Di sini, anak tidak akan menyerah. Dia akan mengeluarkan wajah paling cute dan memelas. Hahaha

Sabar buuu, sabar… anak-anak sedang memanipulasi kita. Pandai sekali mereka berakting. Jika wajah imut dan memelas tidak berhasil, ia akan berganti dengan berbagai cara sampai berhasil. Biasanya yang paling ampuh adalah melancarkan tantrum seperti nangis kencang sambil guling-guling di lantai, teriak-teriak, lempar barang, sampai kadang menyakiti dirinya sendiri. Kalau sudah begini, atasi tantrum bukan dengan emosi dan menuruti kemauan anak. 

Pada situasi ini, saya akan angkat anak dan tempatkan pada tempat yang aman untuk dia melancarkan tantrumnya. Dalam hati saya, saya lebih dewasa dari kamu Nak, jadi tantrum seperti ini nggak bisa membuat saya menuruti kemauanmu.

Pada kebanyakan orang tua, ini berhasil membuat mereka menyerah, apalagi saat di tempat umum.  Hal ini berujung pada “Yaudah, berikan apa yang dia minta (jajan)."

(Oiya, tatrum ini adalah normal pada anak. Silahkan googling tentang tantrum dan bagaimana cara terbaik mengatasinya, karena akan panjang jika dibahas di sini).

Intinya, orangtua harus tegas sedari anak-anak masih kecil. Jika saya bilang tidak (jajan), maka tidak ada (jajan) karena jajan hari ini sudah sampai pada batasnya. Bedakan ya dengan nggak jajan sama sekali. Saya bukan yang anti jajan, lho.

Hasil dari konsistensi saya (dan suami) selama bertahun-tahun menerapkan kebiasaan, anak-anak saya menjadi anak yang enggak “kecanduan” jajan.



Batasi

Anak-anak usia balita maupun usia SD, dalam hal jajan itu kan nggak tahu batas. Tahunya, saat mereka meminta maka akan dikabulkan sama orang tua. Maka bicarakan ke anak, bahwa dalam sehari ia punya jatah jajan 5000 rupiah (ini cuma contoh aja). Setelah jatahmu habis, enggak ada jajan tambahan.

Jika sedari kecil kita komunikasikan kepada anak, mereka pasti mengerti kok. Tentu saja bicaranya dengan tegas, bukan dengan cara marah-marah.

Kasih Bonus

Setelah melihat anak patuh dengan batas limit jajan dan mereka tidak lagi melancarkan tantrum untuk meminta uang jajan, saya memberi anak-anak bonus dengan cara jajan lagi. Misalnya saat hari Minggu tiba. Saya akan ajak mereka ke minimarket dan membebaskan mereka memilih satu jenis jajanan (makanan/minuman) yang mereka inginkan. 

Saya katakan kepada mereka : "Ini karena kalian sudah patuh sama peraturan jajan dari ibu. Selain itu karena kalian tidak lagi ngamuk-ngamuk saat nggak dikasih uang jajan. Mengerti?" 
Mereka akan mengangguk dengan cepat. Ekspresi mereka tentu saja gembira sekali.

Ini bukan tentang penghematan uang, ya teman-teman. Tapi ini adalah pembentukan karakter. Mereka jadi berfikir, bahwa nggak harus nangis guling-guling pun ayah ibu masih tetap memberi mereka jajan.

Itu tadi agar anak tidak "kecanduan"/banyak jajan.

***

Saya pun mempunyai anak yang masih sekolah SD seperti teman saya tadi. Salah satu kekhawatiran seorang ibu adalah jika anaknya jajan sembarangan di sekolah. Saya juga merasa khawatir anak-anak akan tergoda jajan makanan yang bahkan penjualnya merokok sambil meladeni pembeli. Anak-anak mana memperhatikan hal seperti itu sih. Yang mereka tahu kan, teman-temanku beli, ah rasanya enak kok. Mereka juga belum mengerti tentang bahan-bahan yang digunakan.

Pernah suatu kali, pulang-pulang anak saya sakit perut, lalu badannya panas dan berlanjut dengan diare. Saya selidiki apakah dia kecapean atau makan sesuatu yang nggak biasa dia beli.

"Kak, jajan apa aja tadi di sekolah?"
Kemudian si kakak akan bercerita tadi di sekolah jajan ini, ini, ini (menyebutkan nama makanan).

Waktu itu saya memang kecolongan. Setelah hari itu, saat menjemput anak ke sekolah saya sambil kasih pengertian ke anak. Apa saja yang nggak boleh ia beli saya sebutkan satu-satu. Di sekolah anak saya, para pedagang jajanan tuh berjajar sepanjang jalan. 

Saya katakan kepada anak saya. Bahwa jajan itu nggak boleh yang gerobaknya kotor.
Kebanyakan pedagang di sekolah anak saya menggunakan gerobak. Yang mana, gerobak ini dijadikan tempat memasak juga. Saya katakan : lihat gerobaknya bersih atau tidak. Jika iya, kamu boleh membeli makanan itu. Jika gerobaknya kotor, tidak boleh (beli).

Beri pengertian ke anak tentang pewarna buatan. Orangtua pasti sudah paham warna-warna seperti apa yang tidak baik terdapat pada makanan, namun tidak dengan anak. Maka katakan ke anak : "Itu warnanya tidak alami, Kak. Nggak boleh beli itu."
"Saos itu warnanya mencolok banget, Kak. Bukan seperti saos yang biasa kita beli. Jangan beli yang itu ya." Saat anak di sekolah, kita tidak bisa mengontrol mereka mau jajan apa. Namun dengan memberi pejelasan kepada mereka, pasti anak akan mengerti kok. Biasanya saat pulang sekolah, saya akan bertanya jajan apa hari ini.

Saat jajan di rumah, saya biasanya akan kasih pengertian bahwa tidak boleh membeli minuman dan makanan yang komposisinya tidak jelas dan tidak ada label halalnya. Di warung tetangga, masih banyak makanan minuman yang tidak jelas. Merk-nya masih asing sekali. Tidak ada ijin BPOM apalagi logo halal MUI. 

Pernah satu kali anak saya membeli permen yang bungkusnya seperti obat. Tidak ada merk, tidak ada komposisi, maupun logo halal. Saya merasa ngeri, sebelum dikonsumsi sama anak-anak langsung saya buang permen tersebut.


Anak-anak saya suka sekali permen, mungkin karena kebiasaan saya sebagai ibunya yang sering mengkonsumsi permen juga. Saya selalu nyetok satu tiples permen di rumah. Untuk anak-anak, saya nyetok permen Pindy Susu aja. Permen Pindy Susu merk-nya sudah tidak asing lagi. Dulu terkenal sekali dengan Pindy mint dingin-dingin empuk. Permen Pindy Susu juga aman dikonsumsi karena komposisinya jelas, sudah mendapat ijin BPOM (Baan Pengawas Obat dan makanan) serta medapat sertifikat halal MUI, makanya di kemasan Permen Pindy Susu ada logo halalnya. Sehingga saya tidak kuatir lagi memberikan permen ini. Jika anak-anak ingin membeli permen yang nggak jelas di warung, saya akan dengan mudah bilang "Bukankah sudah ada permen Pindy susu di toples?" 
Mereka nggak jadi beli permen sembarangan deh. 

Permen Pindy Susu ( instagram @permenpiny_id ) adalah teman yang manis dan asyik saat bermain ataupun belajar. 

1 comment:

  1. Kalau ngomongin jajanan anak, pasti gak jauh2 dengan yang namanya PERMEN ^_^

    ReplyDelete

Hai, terima kasih sudah membaca dan berkomentar. :)
Mohon maaf komentar dimoderasi karena banyak spam yang masuk.