13 May 2023

Tentang Previlege dalam Berwirausaha

Percayalah, yang punya previlege itu tidak terkalahkan dari segi garis "start". 

Kenapa gitu?

Sejak sekolah saja sudah berbeda. Anak yang punya previllege dari orang tuanya, akan mendapat pendidikan yang bagus, sekolah mahal dan bagus misalnya. Lalu mendapat lberbagai macam Les yang dapat mendukung  minat dan bakatnya. Sementara anak yang dari keluarga biasa saja, sekolah yaa di tempat biasa pada umumnya. Meskipun ada juga kok anak yang dari keluarga menengah ke bawah "maksain" bersekolah di sekolah bonafit. Ada, tapi nggak banyak.

Setelah itu, di jenjang universitas. Anak yang punya previllege akan mendapat pendidikan di perkuliahan sedangkan anak dari keluarga biasa ada yang kuliah dengan bantuan biaya dari pemerintah, ada yang kurang beruntung dan harus menelan pil pahit tidak bisa mengenyam bangku perkuliahan.

Lanjuttt

Anak yang punya previllege (yang orang tuanya berada) ketika akan memulai suatu usaha, pastinya dikasih fasilitas lah sama orang tuanya.


Ada hubungan yang kompleks antara hak istimewa (privilege) dan kewirausahaan. Beberapa berpendapat bahwa hak istimewa, seperti akses ke modal keuangan dan sosial, dapat memberikan keuntungan bagi individu yang ingin memulai bisnis mereka sendiri. Misalnya, individu dari latar belakang istimewa mungkin memiliki lebih banyak akses ke pendanaan, bimbingan, dan peluang jaringan yang dapat membantu mereka meluncurkan dan mengembangkan bisnis.

Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi pengakuan yang semakin besar akan kebutuhan untuk mendukung kewirausahaan di antara kelompok yang kurang terwakili, untuk membantu mengatasi ketidaksetaraan sistemik.

Saya berbicara dengan ibu-ibu komplek beberapa kolega dan para wali murid di tempat saya ngajar beberapa bulan lalu tentang kewirausahaan. Banyak orang tua hadir di sana, dan seorang Ayah bertanya kepada saya, “Apa yang membuatmu berpikir bahwa KAMU mampu memulai sebuah usaha?”

Saya berpikir sejenak dan menjawab, “Ketika saya masih kecil, orang tua saya menekankan kepada saya bahwa saya dapat melakukan apa pun yang dapat dilakukan orang lain. Saya bertemu dengan beberapa orang seangkatan sekolahan saya yang telah memulai berwirausaha , jadi saya pikir saya juga bisa.”

Saya bukan anak kecil lagi. Saya memulai usaha pertama saya ketika saya berusia 18 tahun. Itu jauh lebih sulit dari pada yang saya kira. Saya hanya mengumpulkan sekitar 250.000 dengan selama 5 bulan dan meluncurkan produk pada tahun 2005. Meskipun ada beberapa cobaan dan tekanan awal. Saya kehabisan uang untuk modal usaha. Jadi saya memutuskan untuk menutup usaha saya ini.

Itu adalah kegagalan nyata pertama saya dan itu mempengaruhi kepercayaan diri saya. Setiap orang yang mengenal saya tahu bahwa saya telah mencoba meluncurkan sebuah usaha dan itu gagal. Harga diri saya tercabik-cabik, dan saya kesulitan bertemu orang.

Saya move on dari usaha kaos kaki saya, untuk bekerja di berbagai pabrik tekstil dan garmen lain.

Ketika kita punya priviege, usaha - perusahaan - baik kecil maupun besar akan lebih mudah dibentuk. Misalnya ketika punya orang tua kaya, pendidikan yang tinggi, sehingga lingkungan pun akan berbeda dengan mereka yang tidak mempunyai semua itu.


Setelah Ada Internet, Semua Orang Mempunyai Peluang Tak Terbatas





10 May 2023

Mengalahkan Overthinking

 


Kejadian yang aku alami, aku tahu enggak semua orang bisa memahami ... yhaa karena merka tidak mengalami sendiri.   

Sejak menikah 2008 dan punya bayi pada tahun 2009, sejak saat itu aku memutuskan akan  mencurahkan seluruh waktuku untuk mengurus rumah tangga, ngurus anak, ngurus suami dan mengesampingkan kebutuhan diriku sendiri. Tahun berganti tahun hingga 3 orang anak pun lahir. Melengkapi kehidupan rumah tangga kami. 

Long story short, pada tahun 2022 ini anak bungsuku yang ke tiga sudah berusia 4 tahun. Dia sudah mulai mandiri, mudah ditinggal-tinggal, udah nggak repot lagi pokoknya. Aku bisa dengan "bebas" bepergian. Aku bisa bekerja lagi. Aku mulai bisa melakukan sesuatu untuk diriku sendiri. Pada saat aku lagi senang-senangnya berkarya, berdaya, bisa bermain dan bersenang-senang dengan apa yang aku tekuni saat ini, ternyata aku hamil lagi, anak ke empat. Dalam hal ini aku tidak sedang dalam perencanaan (program hamil).

Betapa kagetnya saya waktu itu, Abudi (suami ku) juga kaget. Nggak nyangka bahwa kelengahan kami sekali saja bisa memberikan dua garis pada tespack kehamilan. 

Overthinkingku bermain, aku merasa ini seperti akhir duniaku. Aku nggak bisa lagi "bebas" bepergian, aku nggak bisa bebas berkarya. Aku nggak bisa melakukan hal yang pada saat hamil akan jadi terbatas. Lebih parahnya lagi, aku merasa sendirian (padahal pasanganku selalu support aku full). Aku menyadari berada di kondisi low vibration. Tidak menerima nasehat baik sekalipun. Responku adalah marah dan menyalahkan orang lain.

Begitulah overthingking menggerogoti pikiran ku. Bahkan berdampak ke fisik yang mengharuskan aku bedrest hampir 2 bulan lamanya. Yang nyatanya, overthingking itu enggak pernah jadi kenyataan. Ketakutan yang kuciptakan sendiri di pikiranku enggak terjadi. hahaha

Dalam kondisi yang mengharuskan di tempat tidur saja, aku masih bisa terhubung dengan klienku di berbagai daerah di Indonesia, aku masih bisa berkarya, masih bisa menambah pundi-pundi money berkat IndiHome #InternetnyaIndonesia 

Internet bisa membuat overthingking dengan banyaknya informasi di luar sana, banyak berita negatif yang di luar nalar, banyak orang flexing yang bisa membuat insecure, dan lain sebagainya. Namun pada peristiwa yang aku alami ini, justru internet menyelamatkanku dari overthingking itu. Beruntungnya aku yang telah berlangganan IndiHome karena aku bisa mendapatkan informasi yang aku butuhkan. 

IndiHome, provider internet yang menjadi pilihanku sejak bertahun-tahun lalu. Adanya internet yang unlimited di rumah, aku bisa memaksimalkan potensiku yang belum tergali. Bisa belajar apapun yang kumau. Dan beraktivitas tanpa batas serta melampaui limitasiku. Aku bilang, kehamilan bukan lah limitasi. Tapi limitasi sebenarnya diri kita sendiri yang membuat.

Overthingking mereda, perlahan aku menerima kehamilanku ini. Aku memilih untuk menaikkan vibrasi dengan berbagai cara, salah satunya dengan Access Bars. Vibrasi naik, dan aku berhasil melewati tahapan emosi dari anger hingga akhirnya sampai pada JOY. Aku kembali bisa beraktivitas dan bepergian ke luar kota. Dalam keadaan hamil pun aku masih bisa berkarya, berdaya, bersenang-senang dan bepergian sendiri.

So, semakin ke sini aku semakin menyadari, bahwa ketakutan itu adalah ilusi. Ketakutan yang diciptakan oleh otak (yang tujuannya supaya diri kita nggak berkembang) itu tidaklah nyata. Gimana cara meredamnya? Yaitu dengan menciptakan sesuatu, create sesuatu, memperbanyak kegiatan yang disukai. Tidak menyalahkan diri sendiri dan orang lain atas apa yang terjadi. Karena tidak ada kejadian yang kita alami, melainkan kita sendiri yang menciptakan. Bukankah kita sendiri yang memilih dan mengambil keputusan ?