09 January 2018

[Review Film] Ayat-Ayat Cinta 2 (Belum Baca Novel VS Sudah Baca) dan Perbedaan antara Novel dan Filmnya



Jadi ceritanya hari itu 23 Desember 2017, Abudi (suami saya) ngajakin nonton film Ayat-Ayat Cinta 2. Beliau emang sudah lama menantikan film ini setelah membaca novel AAC2. Kalau saya sih jujur belum membaca novel AAC2 semenjak novel pertama dibikin film dan sangat mengecewakan. Padahal novelnya mah sudah ada dari jaman jigeum ada di lemari buku. Tapi karena saya belum baca, pas lihat trailernya jadi penasaran.

Lalu berangkatlah kami berdua tanpa diintilin sama dua bocah. Pilih bioskop yang paling dekat dengan tempat tinggal agar enggak kelamaan ninggalin dua bocah di rumah.
Yeaa, remaja kolot sedang nge-date halal. lol. Ada sih segelintir teman yang enggak suka bioskop menganggap perbuatan kami sia-sia. Ada juga yang mempertanyakan "Kok tega sih ninggalin anak berdua sendirian di rumah". Ah yowisben... Biarin aja deh. Senyumin aja. :) Dia mah enggak tahu dengan "jalan berdua" bisa memupuk lagi rasa cinta diantara suami-istri. eaaaa



Nonton dari hari ketiga tayang di bioskop, tapi baru sempat menuliskan reviewnya hari ini. Well, ibu hamil mah mood-nya tak terduga. Maklumin aja deh dan semoga enggak basi ya -_-.

Dari hari ke hari saya mengamati film Ayat-Ayat Cinta semakin banyak penontonnya. Semakin banyak yang menjadi saksi cinta Fahri kepada Aisya. Setelah 20 hari tayang, AAC2 masih setia membentangkan layar di bioskop. Dari target 4 juta penonton, AAC2 kini sudah tembus 2,5 juta lebih. Wuih keren. Katanya banyak netizen yang kecewa dan mengkritik habis film ini ya?

Oke, lanjut ke film AAC2. Jadi gimana reaksi saya saat nonton dan setelah nonton? Terus reaksi Abudi yang sudah baca gimana?

Disini, posisi saya sama sekali nggak tau alur ceritanya dan endingnya seperti apa. Sementara Abudi tentu saja sudah tahu alur dan endingnya. Dari perbedaan ini saja, pasti beda reaksi diantara kami berdua.
Saya : sepanjang scene film yang menyedihkan saya menangis tiada henti. Sampai keluar studio juga masih netes nih air mata. (Uwien anaknya cengeng)
Abudi : berkali-kali menghibur saya bahwa endingnya tetap bahagia.

Tentang informasi umum nggak akan saya tulis disini ya, sudah banyak informasi tersebut di tempat lain. Saya hanya akan memberikan pendapat pribadi saja mengenai film ini.

1. Syuting asli di Scotlandia sesuai dengan di novel ini patut diapresiasi, indah banget ya di sana tuh (Uwien anaknya gumunan). Berbeda dengan AAC1 yang latar di novel adalah di Mesir, eeeh, lokasi syuting filmnya malah di India. Beda alam.
Soundtracknya bagus-bagus dan enak didenger.

2. Soal latar di luar negri kok pakai bahasa Indonesia : kurasa enggak perlu jadi profesor pun seharusnya paham tentang ini. Sebelum memakai bahasa Indonesia, awal scene-nya juga memakai bahasa Inggris. Ini sih aku nangkepnya "Oh, ini aslinya percakapan pakai bahasa sono. Biar orang Indonesia ngerti jadi pakai bahasa Indonesia.". Manteman bisa bayangin nggak kalau sepanjang film percakapannya memakai bahasa Inggris, bahasa Scotlandia, dan bahasa Ibrani? :)
Kebayang gimana para pemainnya mempelajari bahasa Ibrani untuk yang berperan sebagai orang Yahudi dan bahasa Scotlandia. Di film mengambil jalan mudahnya aja.
Oh iya, waktu scene di Sinagog/Synagogue saat Fahri dimaki-maki sama orang Yahudi, orang Yahudi memakai bahasa Ibrani, lho. Diperhatiin nggak yang pas bagian ini?

3. Saya terhibur dengan kehadiran Hulusi dan Misbah. Mereka lucu. Penonton lain juga tertawa saat keduanya on screen.

4. Dari dua jam durasi film, sebagian besarnya saya nangis sesenggukan. Saya merasakan kesedihan Aisya.
- Dari pas awal film, saya mah sudah sedih da' merasakan kesedihan Fahri kehilangan Aisya. Saat Fahri memperhatikan wanita bercadar yang sedang menyeberang. Saat itu mungkin Fahri merasa ada kesamaan dengan Aisya istrinya.
- Saat Sabina/Aisya menjadi pembantu di rumah Fahri, Fahri tetap tidak mengenali Aisya, saya protes. Kenapa sih Fahri enggak peka dan sama sekali nggak mengenali istrinya sendiri? Apa dia rabun dekat? Walaupun wajahnya rusak parah, kan dari tubuh dan suaranya pasti mengenali?
Abudi menjelaskan bahwa dalam ceritanya suara Aisya berubah karena pita suaranya rusak setelah disiksa di penjara Israel.
- Scene saat di Aisya di penjara Israel ini bener-bener menyedihkan. Bagaimana Aisya merusak alat vital dan wajahnya sendiri demi mempertahankan diri agar tidak dijadikan budak nafsu para penjaga penjara. Di sinilah saya baru paham kenapa Aisya tidak pulang ke rumahnya dan memilih hidup sebagai Sabina.
- Scene saat Fahri menikahi Hulya, saya nangis lagi. Pas Aisya melihat keharmonisan Fahri-Hulya tuh nyereset dina hate lah pokoknya.

5. Adegan face off wajah Aisya menjadi wajah Hulya menurutku aneh banget sih (mungkin karena saya awam tentang ilmu kedokteran).
Tambah nylekit aja di hati. Yang mendampingi dan menjadi ayat-ayat cinta Fahri kan Aisya, tapi saat memandang wajah Aisya jadi teringat Hulya terus pastinya. huhuhu, hatiku terpotek-potek

Kalau menurut Abudi yang sudah membaca novel Ayat-Ayat Cinta 2, agak sedikit kecewa sih katanya. Dari keseluruhan film hampir sama cuman di film ini lebih menonjolkan sisi percintaanya daripada sisi keislamannya. Ada sih sisi keislamannya tapi kurang ngena. Beda sama film KCB yang memang menonjolkan sisi keislamannya sesuai dengan novel.

Novel AAC sesuai tag linenya adalah Sebuah Novel Pembangun Jiwa. Karena saat membacanya ghirah keislaman juga meningkat. Kita semakin instrospeksi diri. Banyak hikmah yang bisa diambil. Hal ini saya rasakan saat membaca novel AAC 1.

Beberapa hal yang mengalami perubahan (sumber : sesuai penuturan Abudi karena saya belum baca) :

- "Porsi" Aisya di dalam film terlalu sedikit. Di film lebih banyak Hulya dan Keira, mungkin karena pemeran utamanya memang Tatjana Saphira dan Chelsea Islan
- Hulya dalam novel, dari awal sudah berjilbab sebagaimana wanita Turki pada umumnya. Sedangkan di film tidak atau belum berjilbab. Kemunculannya juga bukan di kelas saat Fahri mengajar.
- Tentang debat. Di novelnya, sebenarnya debatnya seru. Membahas tentang Amalek. Sedangkan di filmnya adalah tentang keberagaman dan cinta damai. Makanya kan bagian ini dikritik, ngapain baca buku tebal-tebal sampai larut malam kalau bahasannya cuma segitu doang.
Bayangkan saja, kalau tetap membahas hal yang sama seperti di novel, mungkin nggak dapat izin syuting di Sinagog (tempat ibadah Yahudi). Film mah cari aman lah.
- Scene saat Fahri melamar Hulya. Kalau dalam novelnya enggak gitu, nggak ada khalwat/berdua-duaan.
- Hulya bukan ditusuk sama Bahadur, tapi sama anaknya nenek Catrina yang benci banget sama Fahri.
- Brenda , tetangga Fahri yang suka mabuk-mabukan, aslinya dalam novel adalah wanita Scotlandia. Kok jadi orang Malaysia. hihi

Sebenarnya masih banyak sih yang enggak tersampaikan di filmnya seperti yang saya tulis di atas.  Makanya Abudi bilang ke saya : "Kamu harus baca novelnya. Lebih seru."

Oke fix, habis ini saya akan membaca Novel Ayat-Ayat Cinta 2.

Oiya, tentang Fahri yang to good to be true, akhlaknya sempurna : hafal Qur'an, tampan, kaya, baik hati, dan pandai mengendalikan emosi. Mungkin bagi kita hal itu mustahil ada orang seperti itu di dunia. Walaupun tokoh Fahri hanya fiksi, saya mah yakin bahwa ada orang seperti itu di dunia ini. Hanya saja kita enggak kenal, enggak pernah bertemu, dan enggak bersinggungan langsung karena ya pergaulan kita hanya segini-gini aja. #mikir

Orang nyata seperti Fahri yang pasti enggak pingin terkenal atau dikenal orang di seluruh dunia. Mereka "bekerja" dengan akhlak baik mereka secara senyap.

This entry was posted in

6 comments:

  1. Saya lagi baca novelnya dan sepertinya bakalan kecewa kalau saya baca novel dl baru nonton. Tp dalam imajinasi saya fahri ya fedi nuril

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya sama seperti AAC 1, Teh. Saya kan kecewa berat karena nggak seperti di novelnya.

      Delete
  2. kepala sekolah sudah nonton dia promosi filmnya bagus banget katanya rugi kalau nggak nonton aku bilang anu pak yang satu aja akau belum nonton palagi yang 2

    ReplyDelete
  3. sha udah dari duluu banget baca novelnya. Dan gak berani nonton karena takut kecewa :D

    ReplyDelete
  4. Baru selesai nonton... kalo jujur sih, yg ke 2 ini masoh mending lah dr ke 1. Tapi tetep aja banyak bagian yg ganjil. Aku lebih pengen nyorotin busananya para muslimahnya aja sih... pakaian bercadarnya masih kurang totalitas. Padahal di banding taun 2008 dlu pas aac 1 keluar, tahun2 ini kan muslimah bercadar sudah familiar tuh, gamis lebar, jilbab seenggaknya sampe tangan dll... itu yg bikin adem banget diliat.

    Trus fahrinya tetep sama... matanya kurang gudhul bashor gitu ya... jadi kurang ngena.. kalau aku baca novelnya, yg kubayangkan dari fahri itu, dia tuh ikhwan gitu 😊

    ReplyDelete

Hai, terima kasih sudah membaca dan berkomentar. :)
Mohon maaf komentar dimoderasi karena banyak spam yang masuk.