Sebuah Hari yang Penuh Rasa Syukur
Akhirnya hari ini datang juga. Hari ketika Simbok, dengan suara pelan tapi mantap, berkata:
“Saiki aku arak ngayemke atiku lan awakku, rarak mikir werno-werno, rarak tumindak nek awakke ora saguh.”
Artinya: Sekarang aku mau menentramkan hati dan badanku, gak akan mikir yang aneh-aneh, gak akan ngelakuin apa-apa kalau badanku udah gak sanggup.
Dan tahu nggak, gaes…
Aku nangis banget. Nangis bahagia.
NGANGIS BAGAHIAAAA.
Ternyata, salah satu bentuk kebahagiaan paling dalam bagi seorang anak adalah saat melihat orang tuanya — terutama ibunya — memilih untuk membahagiakan dirinya sendiri.
Bukan lagi memikirkan anak, cucu, atau orang lain. Tapi memilih untuk diam, tenang, dan damai dengan hidupnya sendiri. Ketika mereka tersenyum tanpa beban, makan enak tanpa rasa bersalah, dan istirahat tanpa rasa takut, rasanya... lega banget di dada.
Seolah hidup berkata: “Tugasmu sebagai anak nggak sia-sia.”Kebahagiaan Orang Tua, Hadiah Terindah untuk Anak
Sebenarnya, kebahagiaan orang tua adalah hadiah yang semesta kasih untuk anaknya.
Ketika mereka bahagia, anak-anaknya ikut sembuh, ikut damai.
Rasanya seperti utang cinta yang akhirnya lunas dengan cara paling indah.
Maaf ya kalau capslock-ku terasa berlebihan, tapi rasa syukur ini memang susah diukur.
Simbokku sekarang 74 tahun. Dari kecil hidupnya nggak mudah. Ujian datang silih berganti, kadang tanpa jeda. Kata beliau, “berat banget,” tapi tetap dijalani, sambil minuwun (berserah) ke Gusti Allah.
Dan dari kesabaran, keuletan, serta kerja kerasnya, kelima anaknya bisa tumbuh jadi manusia yang baik.
Itu bukan hal kecil. Itu perjuangan luar biasa.
Belajar Arti “Kuat” dari Seorang Ibu
Sampai akhirnya aku sendiri menjadi ibu. Baru di situ aku ngerti — benar-benar ngerti — makna kalimat: “beratnya jadi ibu.” Capeknya, bingungnya, tanggung jawabnya... semua bercampur. Tapi lucunya, meskipun sudah tahu berat, aku tetap memilih melahirkan anak ke-2, ke-3, bahkan ke-4.
Entahlah, kekuatan itu datang dari mana kalau bukan dari Tuhan… dan mungkin juga dari dalam diriku sendiri.
Karena aku tumbuh dari rahim seorang perempuan yang luar biasa kuat. Aku belajar dari Simbok, bahwa kuat bukan berarti tak pernah lelah, tapi tetap melangkah meski tubuh ingin menyerah.
Surat Cinta untuk Anak-Anakku
Anak-anakku,
kalau suatu hari kalian membaca tulisan ini,
ingatlah — aku berterima kasih karena kalian memilihku jadi ibu kalian.
Tuhan mempertemukan kita bukan kebetulan.
Aku menyayangi kalian, segimana pun adanya kalian.
Dan mungkin, begitulah dulu cinta ibuku kepada kami.
Ia mencintai dalam diam, berjuang tanpa banyak kata.
Berusaha agar anak-anaknya tetap bisa makan, tetap sekolah, tetap punya tempat berteduh, meski harus bangun jam 1 dini hari untuk bekerja dan menyiapkan segalanya.
Tentang Simbok yang Tak Pernah Meminta
Aku anak bungsu, sekarang sudah bisa bekerja dan menghasilkan uang.
Tentu, seperti kebanyakan anak, aku ingin membahagiakan orang tua — salah satunya dengan memberi sedikit dari hasil kerjaku.
Tapi Simbok cuma bilang,
“Ora usah. Simpen wae, gawe kowe dhewe. Nanti buat keperluanmu.”
Dulu aku pikir itu hal biasa.
Sampai suatu hari aku menonton video tentang anak yang sedih karena merasa orang tuanya hanya membutuhkan uangnya saja.
Rasanya ngilu di dada.
Aku bersyukur Simbok bukan seperti itu.
Ia tak pernah meminta apa pun, cukup melihat anak-anaknya bahagia, sudah cukup baginya.
Cinta yang Tak Tersurat
Dari Simbok aku belajar satu hal penting:
cinta sejati seorang ibu tak perlu dibuktikan dengan kata-kata atau harta.
Ia ada dalam doa yang lirih, dalam peluh yang jatuh tanpa suara,
dalam keputusan sederhana — memilih menentramkan hati dan tubuhnya di usia senja.
Dan hari ini, ketika Simbok memilih untuk bahagia,
aku pun ikut bahagia.
Karena akhirnya, setelah puluhan tahun hidup untuk orang lain,
Simbokku memilih hidup untuk dirinya sendiri.
Dan bagiku, itu adalah hadiah paling indah dari Tuhan.
Mari Jadi Ibu yang Bahagia
Semoga kita semua bisa jadi orang tua yang baik ya, gaes.
Orang tua yang nggak problematik, yang nggak mewariskan luka batin,
yang nggak menambah inner child baru untuk disembuhkan anak-anak kita nanti.
Dan mulai dari sekarang, yuk belajar mencintai diri sendiri.
Karena nggak salah kok, hidup untuk membahagiakan suami dan anak-anak — itu mulia.
Tapi jangan lupa, diri sendiri juga butuh bahagia.
Butuh istirahat, butuh dihargai, butuh ditenangkan.
Kita boleh jadi ibu yang kuat, tapi juga boleh rapuh.
Boleh memberi banyak, tapi juga berhak menerima.
Boleh berkorban, tapi jangan sampai kehilangan diri.
Mari belajar dari Simbok —
bahwa kadang, cara terbaik mencintai keluarga adalah dengan menentramkan diri sendiri lebih dulu.
Karena ibu yang bahagia akan menumbuhkan anak-anak yang bahagia juga.
Dan dari sanalah, lingkar cinta itu akhirnya jadi utuh. 🌸
0 komentar:
Post a Comment
Hai, terima kasih sudah membaca dan berkomentar. :)
Mohon maaf komentar dimoderasi karena banyak spam yang masuk.