30 December 2025

Refleksi 2025


Aku sering bertanya pada diriku sendiri di sela-sela suara piring beradu, PR yang belum selesai, dan suara anak-anak yang tak henti bersahut-sahutan: kapan terakhir kali aku benar-benar mendengar suaraku sendiri? Bukan suara sebagai ibu, bukan sebagai pasangan, bukan sebagai “yang harus kuat”, tapi aku—perempuan utuh dengan mimpi, luka, dan harapan yang terus bertumbuh.

Aku adalah ibu dari empat anak. Empat jiwa dengan karakter, emosi, dan kebutuhan yang berbeda. Dua diantara Gen-Z, dua lagi Gen Alfa. 😊 Ada hari-hari ketika rumah terasa seperti orkestra tanpa dirigen—semua berbunyi bersamaan. Namun di tengah riuh itu, tahun 2025 datang seperti sebuah undangan sunyi: undangan untuk duduk, bernapas, dan jujur pada diri sendiri.



Jika harus merangkum 2025 dalam tiga kata, maka inilah milikku: wisdom of victim, you are enough (utuh), dan menemukan diri sendiri.

Tiga kata ini bukan sekadar afirmasi manis. Ia lahir dari proses panjang, dari jatuh-bangun seorang ibu yang sering kali lupa bahwa dirinya juga manusia.

Sebagai ibu, aku pernah lama terjebak dalam peran “korban keadaan”. Merasa hidupku selalu tentang mengalah, menunda, dan berkorban. Tapi perlahan aku memahami makna wisdom of victim—bukan meratapi luka, melainkan memetik kebijaksanaan darinya. Seperti kata Brené Brown, “Owning our story and loving ourselves through that process is the bravest thing we’ll ever do.” Mengakui bahwa aku pernah merasa lelah, marah, dan tersesat justru membebaskanku. Dari sana aku belajar: aku tidak lemah karena pernah terluka; aku bijak karena aku mau belajar darinya.

Kata kedua, you are enough. Dulu kalimat ini terdengar klise. Bagaimana mungkin aku “cukup” ketika selalu ada yang kurang? Kurang sabar, kurang produktif, kurang konsisten. Tapi 2025 mengajarkanku untuk melihat diriku secara utuh. Bahwa menjadi ibu empat anak tidak menghapus identitasku sebagai perempuan. Bahwa aku boleh lelah dan tetap berharga. Bahwa aku boleh gagal hari ini dan tetap layak dicintai. Seperti yang Carl Rogers katakan, “The curious paradox is that when I accept myself just as I am, then I can change.” Penerimaan diri bukan akhir perjalanan—ia justru pintu awal pertumbuhan.

Dan kata ketiga: menemukan diri sendiri. Ini mungkin terdengar egois bagi sebagian orang. Tapi bagiku, menemukan diri sendiri adalah hadiah terbaik yang bisa kuberikan pada anak-anakku. Karena ibu yang mengenal dirinya akan membesarkan anak-anak yang berani mengenal diri mereka. Aku belajar kembali mendengar apa yang membuatku hidup, apa yang membuat mataku berbinar, bukan hanya apa yang harus kulakukan.


Ada satu hal besar yang sengaja kulepas di tahun ini: label. Label yang selama ini menjadi rem—“ibu harus selalu serius”, “berkarya harus rapi dan sempurna”, “tidak boleh main-main dengan mimpi”. Aku melepaskan keseriusan yang kaku dalam berkarya. Aku ingin kembali bermain, bereksperimen, tertawa saat gagal, dan belajar tanpa menghakimi diri sendiri. Karena ternyata, kreativitas tumbuh subur saat aku berhenti terlalu keras pada diriku sendiri.

Namun ada satu hal yang ingin tetap menetap dan menemaniku sepanjang tahun: memeluk diri sendiri yang kuat dan lemah secara bersamaan. Aku tidak ingin lagi memilih salah satunya. Aku kuat karena bertahan, dan aku manusiawi karena lemah. Dua-duanya layak dipeluk. Dua-duanya membentukku hari ini.

Dan jika harus menyebut satu pencapaian terpenting tahun ini, maka bukan soal angka, proyek, atau pengakuan orang lain. Pencapaianku adalah ini: aku selalu punya cara untuk merayakan diri dan memberi diriku sendiri validasi. Aku tidak lagi menunggu tepuk tangan dari luar untuk merasa cukup. Aku belajar berkata pada diri sendiri, “Kamu sudah melakukan yang terbaik hari ini.” Sekecil apa pun langkahnya, aku merayakannya.

Seperti kata Louise Hay, “Remember, you have been criticizing yourself for years and it hasn’t worked. Try approving of yourself and see what happens.” Dan benar saja—saat aku mulai mengapresiasi diriku sendiri, langkahku terasa lebih ringan. Aku melangkah bukan karena takut tertinggal, tapi karena ingin maju.

Sebagai ibu empat anak, hidupku tak pernah benar-benar sepi. Dan di tahun 2025 ini, aku menemukan ruang hening di dalam diriku. Ruang tempat aku boleh menjadi utuh, belajar dari luka, bermain dengan mimpi, dan terus berjalan—pelan tapi pasti. Aku tahu: aku tidak sedang tersesat. Aku sedang pulang pada diriku sendiri.

0 komentar:

Post a Comment

Hai, terima kasih sudah membaca dan berkomentar. :)
Mohon maaf komentar dimoderasi karena banyak spam yang masuk.